Penggunaan antibiotik saat ini mengkhawatirkan. Sebagian dokter
menganggap obat ini cukup mujarab untuk melawan kuman yang masuk ke
tubuh. Efek antibiotik ibarat bom. Dia menyapu semua bakteri dan menekannya hingga mati.
Sayangnya, antibiotik yang hanya efektif melawan bakteri ini kerap
diresepkan untuk penyakit yang disebabkan oleh virus. Virus justru tidak
mempan dibasmi antibiotik.
Efek samping tidak terelakkan. Bakteri yang terkena antibiotik dan belum mati, akan terus menguatkan diri sehingga lebih tahan terhadap serangan antibiotik yang sama. Jika sudah begini, pasien perlu antibiotik yang lebih kuat lagi.
Dan, saat bakteri mampu resistan dengan produk antibiotik yang dianggap
paling kuat, keadaannya menjadi bakteri super. Dia menjadi raja
penyakit atas diri seorang pasien. Obat-obatan tidak ampuh lagi melawan
bakteri itu.
Inilah kenyataan saat ini. Perkembangan penemuan antibiotik tidak sejalan dengan kecepatan bakteri dalam beradaptasi terhadap antibiotik.
Hidup manusia yang memiliki bakteri super di tubuhnya, ibarat robot.
Tubuhnya dipakai bakteri untuk terus berkembang dan menggerogoti
kesehatan.
Dr Margaret Chan, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia, mengatakan, infeksi yang sebenarnya biasa justru bisa menjadi awal dari hal yang mematikan. Dia sampai mengatakan, kebiasaan pasien mendapatkan antibiotik adalah “akhir dari pengobatan modern”. Pasalnya, obat-obatan antibiotik sudah tidak mampu melawan bakteri super yang resistan. Mengerikan!
Kesembuhan seseorang dari penyakit akibat bakteri itu sifatnya bisa
sementara saja. Rumah sakit pun tidak menjamin kesehatan pasien menjadi
prima dengan sempurna. Bakteri yang hinggap di tubuh pasien dapat
menjadi resistan pascasembuh dari perawatan di rumah sakit. Chan sampai
menyebut rumah sakit sebagai “lahan subur” bagi bakteri patogen yang
resistan, seperti methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Sehingga, antibiotik justru meningkatkan risiko rawat inap dibanding hanya sebatas obat.
Resistensi bakteri menjadi super mungkin terjadi dalam jangka
panjang. Pasien yang baru tahap awal mengonsumsi antibiotik mungkin akan
terasa efek kesembuhannya. Hanya saja, kasus resistensi bakteri terjadi setelah itu. Dan, pada pemberian antibiotik, bakteri yang bersifat baik pun akan diangkut menuju kematian.
Antibiotik ditemukan Alexander Fleeming pada 1928. Pemakaian secara
meluas dilakukan era 1940-an dan diprediksi dunia bebas infeksi pada
tahun 1960-an. Ternyata hasilnya berkenalikan dari itu. Awal 1990 justru menjadi masa post antibiotika. Banyak dari temuan antibiotik saat itu tidak mampu menghadapi bakteri yang resistan.
“Waktu itu, di antara 20 jenis antibiotik yang ada, hanya satu yang bisa mengobati penyakit infeksi,” ujar Dr Kuntaman SpMK, ahli mikrobiologi RSU dr Soetomo, seperti dikutip Jawa Pos.
Parahnya, produsen farmasi pun enggan melakukan penelitian lebih lanjut pada antibiotik. Obat ini dinilai kurang bernilai ekonomis karena dipakai pada masa pengobatan jangka pendek.
Produsen lebih melirik pada obat yang dipakai pasien untuk jangka
panjang atau mungkin seumur hidup. Misalnya obat penurun koleterol,
penurun hipertensi, dan sebagainya. Sedangkan, antibiotik penggunaannya
mungkin hanya selama 3 hari sampai satu mingguan.
“Itu tidak menguntungkan bagi mereka,” ujar Dr William Schaffner, ketua pencegahan pengobatan di Vanderbilt University Medical Center di Nashville, dikutip ABC News.
“Jika Anda membuat obat baru untuk mengurangi kolesterol, orang akan mengonsumsi obat itu setiap hari selama sisa hidup mereka. Tapi Anda hanya minum antibiotik selama seminggu atau mungkin 10 hari,” tambahnya.
Meski begitu, sebenarnya masih ada harapan baru menggunakan antibiotik yang kuat dan mampu melawan bakteri super. Jawabannya, salah satunya, adalah madu. Produk lebah ini ternyata punya senyawa yang mampu melawanbakteri patogen tanpa menimbulkan efek samping.
Profesor Rose Cooper dari University of Wales Institute Cardiff
mencoba madu dari sumber pohon manuka untuk digunakan melawan bakteri
super dari jenis Pseudomonas aeruginosa, Group A Streptococci dan Meticillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Ternyata, madu tersebut mampu menghalangi bakteri masuk ke jaringan . Hal ini mencegah terjadinya infeksi akut.
Ketika bakteri super dilawan dengan madu, bakteri tersebut akhirnya
kembali menjadi sensitif terhadap antibiotik dari produk farmasi.
Kekuatan bakteri super menjadi berkurang. Akhirnya, bakteri bisa kembali dilawan dengan antibiotik biasa.
“Ini menunjukkan bahwa antibiotik yang ada mungkin lebih efektif melawan infeksi yang sudah resisten terhadap obat jika penggunaannya dikombinasikan dengan madu manuka,” ujar Prof Cooper, seperti dikutip dari BBC News.
0 komentar:
Posting Komentar